PENEGAK HUKUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat
signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur
keberhasilan suatu pemerintahan. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang
menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga
tingkatan yang paling tinggi. Berdasarkan laporan terbaru dari lembaga
Transparency Internasional (TI), Indonesia masih menempati posisi bawah untuk Negara
terbersih dari korupsi. Di tahun 2014, Indonesia berada di peringkat 107 dari
177 bersama Argentina dan Djidouti. Peringakat ke-107 itu berarti Indonesia
memiliki skor 34 dengan skala 0-100[1].
Korupsi di
Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama semenjak
pemerintahan Suharto dari tahun
1965 hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri di bawah standar
hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Selain itu, sistem
peradilan pidana di
Indonesia tidak
berjalan efektif untuk memerangi korupsi, sehingga pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum.
Menurut Bank Dunia, bahwa korupsi
di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri
sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan
seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi[2]. Indonesia
Corruption Watch (ICW)
mengemukakan
bahwa hal tersebut di atas menghasilkan krisis ekonomi di Indonesia yang
berujung dengan kejatuhan rezim Suharto.
Tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun
ke tahun, baik
dari jumlah kasus
yang terjadi dan
jumlah kerugian keuangan negara
maupun dari segi
kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin
sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi
suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi
dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum
untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama
ini terbukti mengalami
berbagai hambatan. Untuk
itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa
melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas,
independen serta bebas dari kekuasaan manapun
dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam hal ini Pemerintahan Indonesia telah melakukan
upaya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang
kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, antara
lain dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas
Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme; Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus untuk
memberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK yang
ditetapkan secara resmi dengan adanya UU. Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan setelah terpilihnya pimpinan dan Ketua
KPK pada tanggal 16 Desember 2003.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan
tersebut diatas, maka penulis ingin mengemukakan tentang :
1.
Apa
tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ?
2.
Bagaimana peranan KPK dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi di Indonesia ?
3.
Mengapa terjadi isu pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK,
adalah Instansi penegak hukum di Indonesia yang
dibentuk pada tahun 2003 untuk
mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini dibentuk
berdasarkan kepada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional,
intensif, dan berkesinambungan
karena korupsi telah merugikan keuangan
Negara, perekonomian Negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Pembentukan
KPK bukanlah dibentuk dengan secara tiba-tiba, KPK dibentuk tanggal 27 Desember
2002 pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri,
sekalipun gagasan perlunya lembaga ini dibentuk telah lahir pada masa
kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Jika ditinjau dari aspek historis pemberantasan korupsi
di Indonesia, KPK bukanlah institusi pertama yang pernah dibentuk untuk
memberantas korupsi di Indonesia. Sejarah mencatat sejak periode tahun 1963 - 2002,
setidaknya sudah delapan lembaga/tim pemberantasan tindak pidana korupsi pernah
dibentuk sebagai upaya pemberantasan korupsi;
1.
Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN),
2.
Operasi
BUDHI, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
3.
Tim
Pemberantasan Korupsi (1967) tanggal 2 Desember 1967, melalui Keppres No.
228/1967,
4.
Komisi
Empat, melalui Keppres No. 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970,
5.
Operasi
Penertiban, Tahun 1977 melalui Inpres No. 9/1977,
6.
Tim
Pemberantasan Korupsi (1982),
7.
Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
8.
Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 19 tahun 2000.
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk bukan
untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada
sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai Trigger Mechanism, yang berarti
mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh
lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk karena pemberantasan
tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara
professional, intensif, dan berkesinambungan. Tujuan
dibentuknnya KPK itu sendiri tidak lain adalah untuk meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Karena korupsi telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional begitu parahnya
maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa
(extra ordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang
luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunyai wewenang luar
biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super
body).
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak
kalah pentingnya adalah sumber daya
manusia yang akan memimpin dan
mengelola Komisi Pemberantasan
Korupsi. Undang-Undang ini memberikan
dasar hukum yang
kuat sehingga sumber
daya manusia tersebut dapat
konsisten dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Pimpinan Komisi
Pemberantasan Korupsi terdiri
dari 5 (lima)
orang yang merangkap
sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut
terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan
yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan
pasal 3 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002,
Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun, artinya tidak
boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil
sebaik mungkin.
Yang dimaksud
dengan ‘kekuasaan
manapun’ adalah
kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi atau anggota KPK secara
individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait
dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan
alasan apapun.
Selain independen, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
juga merupakan lembaga yang sifatnya Ad-hoc.
Dibentuknya KPK sebagai lembaga negara yang independen,
kuat, dan permanen tidak tercederai dengan pemahaman yang keliru dan
menyalahartikan istilah ad hoc sebagai suatu yang bersifat sementara. Arti ad hoc bukanlah sementara, melainkan untuk
tujuan khusus/tertentu.
Menurut pendapat pimpinan KPK periode 2003-2007
Erry Riyana Hardjapamekas, mengatakan bahwa istilah “ad-hoc” yang merupakan
bahasa latin, menurut Black’s Law Dictionary berarti “formed for a particular
purpose” atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”. Dalam kaitannya dengan KPK,
maka KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Memaknai KPK sebagai lembaga permanen sangatlah penting
karena KPK berdasarkan sejarah pembentukannya memang bukan lembaga yang
dibentuk untuk sementara waktu (ad interim), melainkan sesuai dengan
semangat penciptaannya KPK disiapkan sebagai lembaga negara yang permanen, kuat
dan independen (bebas dari pengaruh kekuasaan manapun) dengan tujuan khusus (ad
hoc dalam pengertian yang benar), yaitu membebaskan Indonesia dari
korupsi.
Dalam UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak ada satu
pasal pun dalam UU tersebut yang menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc,
demikian juga dalam penjelasan dan pertimbangannya. Namun, sejak didirikannya pada tahun 2003 KPK
telah banyak membawa perubahan yang sangat besar dalam sejarah pemberantasan
korupsi di Indonesia. Jika masa sebelum adanya KPK banyak kasus korupsi yang
tak tersentuh hukum, khususnya yang melibatkan para penguasa, namun sejak KPK
berdiri sudah banyak kasus-kasus besar yang ditangani dan dijatuhi hukuman.
Gagasan bahwa KPK bersifat sementara adalah gagasan yang
kontraproduktif, karena faktanya korupsi terus menjadi permasalahan yang sangat
besar di Indonesia dan kebutuhan akan adanya lembaga independen seperti KPK
akan selalu ada. Jadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu ada
selama korupsi itu masih ada di
Indonesia.
2.2 Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Upaya Pemberantasan
Korupsi di Indonesia
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat
melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan
berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Untuk melakukan
peranannya KPK diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam
Pasal 6 butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari:
- Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi,
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi,
3.
Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,
- Melakukan tindakan pencegahan korupsi,
- Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pada saat sekarang pemberantasan tindak
pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh
berbagai
institusi seperti
kejaksaan
dan kepolisian
dan badan-badan
lain yang berkaitan dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara
berhati-hati
agar tidak terjadi tumpang
tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Dalam Pasal 11
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
- Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat pengak hukum dan penyelengara negara;
- Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
- Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Dalam pelaksanaan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpedoman
kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proposionalitas. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan
:
a. Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan
dalam setiap kebijakan
menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. Keterbukaan adalah asas
yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang
benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c. Akuntabilitas adalah asas
yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan
Korupsi harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat
sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi negara sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
d. Kepentingan Umum adalah
asas yang mendahulukan
kesejahteraan umum dengan
cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e. Proporsionalitas adalah asas
yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan
kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertanggung
jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala
kepada presiden, DPR, dan BPK.
Untuk memerangi
tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luara biasa
(extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang tidak dimiliki
instititusi lain yaitu:
- Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
- Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri;
- Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
- Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
- Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
- Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
- Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri;
- Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Melihat
kewenangan yang dimiliki oleh KPK, maka tidak heran kalau kalangan hukum menyebutnya
sebagai lembaga super (superbody). Disamping itu, peranan KPK melebihi dari
Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengeluarkan
Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SPPP) dalam perkara
tindak pidana korupsi, sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002,
KPK tidak berwenang mengeluarkan SPP untuk menghindari adanya main mata antara
tersangka dan aparat KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut KPK mampu
mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya KPK memiliki kewenangan penuh untuk
menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Dengan kewenangan itu
pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi,
karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di
curigai kapan pun dan dimana pun. Seperti dalam kasus
penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK
dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK
terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan
menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat
itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak
langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang,
menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk
melakukan tindak pidana korupsi karena takut ditangkap oleh KPK yang datang
seperti angin tanpa bisa diduga.
2.3
Isu
Upaya Pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
Selama ini Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha
melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh undang-undang dengan semaksimal
mungkin memanfaatkan kewenangan yang ada. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memberi kewenangan –
kewenangan yang begitu besar kepada KPK, menjadikannya sebagai lembaga super (super body) satu-satunya di Indonesia di
bidang penegak hukum. Namun, sebagai lembaga super yang
mempunyai wewenang yang luar biasa, sekarang justru menjadi bumerang untuk KPK itu sendiri.
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ‘tenar
pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi jargon politik untuk menarik simpati rakyat dalam
pemilihan Presiden
2009. Namun sayangnya, seiring berakhirnya masa jabatan Presiden SBY 2004-2009,
pesona KPK pun turut
memudar.
Sebagai Lembaga
Pemberantas Korupsi, tidak semua orang setuju dan mendukung adanya KPK. Ada
saja oknum-oknum
tertentu yang
berusaha untuk membatasi atau melemahkan wewenang KPK. Kekuasaan besar KPK juga
tidak lepas dari ancaman dari para koruptor dan elit politik yang tidak
berkepentingan.
Sejak didirikan
pada tahun 2003, KPK banyak menghadapi masalah kriminalitas terhadap para
pimpinannya (KPK) yang dianggap
sebagai ajang balas dendam oleh orang-orang yang selama ini dijerat kasus
korupsi. Dimulai ketika pimpinan KPK, Antasari Azhar terseret kasus
pembunuhan Nazaruddin Zulkarnaen, dan menyusul pimpinan-pimpinan KPK lainnya
yang juga tersandung kasus hukum yang penuh dengan konspirasi dan kejanggalan. Yang lebih
ironisnya upaya-upaya besar untuk melemahkan KPK datang dari Polri dan DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang sudah lemah, dan tak berdaya masih dihantam bertubi-tubi oleh
berbagai rekayasa dan persekongkolan para elite politik.
Spirit pemberantasan korupsi
telah mati di tangan kekuasaan yang cenderung melindungi
kepentingan-kepentingan pihak tertentu di lingkaran kekuasaan. Pada 6 Mei 2015,
Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 7 / 2015 tentang Aksi Pencegahan dan
Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK). Inpres ini pada intinya melimpahkan tugas pemberantasan
korupsi kepada lembaga dan instansi
pemerintah.
KPK ditempatkan sejajar dengan Kejagung dan Polri. Tugas KPK diarahkan lebih
kepada upaya pencegahan korupsi. Upaya melemahkan KPK
mencapai puncaknya saat diajukannya usulan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Pemerintah
(DPR) berdalih bahwa tujuan utama
revisi UU KPK mutlak untuk memperkuat KPK demi kepentingan rakyat. Revisi ini
diharapkan mencegah adanya penyalahgunaan Institusi KPK untuk kepentingan
individu atau kelompok tertentu. Namun, wacana memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan upaya sejumlah pihak untuk
melemahkan lembaga anti korupsi tersebut. Ini karena draf revisi UU tersebut
berisi sejumlah hal untuk melemahkan KPK. Berikut ini
beberapa usulan yang melemahkan KPK dari revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR :
1. Umur KPK dibatasi hanya 12 tahun
Pasal 5 dan pasal 73 revisi UU KPK ini
menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak revisi UU KPK
disahkan.
Menurut KPK, tidak perlu dilakukan
pembatasan masa kerja KPK. Sebab, pasal 2 angka 2 TAP MPR No. 8 tahun 2001
mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu.
2. KPK tidak lagi miliki tugas dan kewenangan
lakukan penuntutan
Revisi UU KPK menghapuskan tugas dan
kewenangan di bidang penuntutan. Hal ini tercantum dalam pasal 53 revisi UU
KPK.
Implikasi dari pasal ini adalah KPK tidak
lagi memiliki kewenangan menuntut, dan proses penanganan perkara di lembaga
antirasuah akan diserahka kepada kepolisian.
3. KPK kehilangan tugas dan kewenangan
monitoring.
Selain hilangnya penuntutan, revisi UU KPK
juga menghilangkan tugas KPK dalam melakukan monitoring.
4. KPK hanya bisa tangani perkara korupsi
dengan kerugian negara Rp 50 miliar ke atas.
Ini berarti bahwa KPK harus menyerahkan penyidikan
kepada kepolisian dan kejaksaan. Menurut ICW, jika berkaca dari UU No. 30 tahun
2002 tentang KPK yang berlaku sekarang, nilai kerugian negara yang ditentukan
bagi KPK hanya sebesar Rp 1 miliar. Dengan angka ini, ada banyak perkara
korupsi besar (grand corruption) yang juga berhasil diungkap oleh KPK. Menurut KPK,
pembatasan ini tidak mendasar karena lembaga ini fokus kepada subyek hukum,
bukan pada kerugian negara.
5. KPK lebih diarahkan pada tugas pencegahan
Korupsi.
Diatur dalam pasal 1 angka 3, yang
berbunyi:
"Pemberantasan korupsi adalah
serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana
korupsi melalui koordinasi, supervisi, monitoring penyelenggaraan negara yang berpotensi
terjadinya tindak pidana korupsi."
6. KPK tidak dapat membuat perwakilan di
daerah provinsi.
Dalam UU
KPK yang saat ini berlaku, pasal 16, KPK memiliki kewenangan untuk membentuk
kantor perwakilan di daerah provinsi.
7. KPK harus mendapatkan izin ketua
pengadilan untuk lakukan penyadapan.
Izin penyadapan ini diatur dalam pasal 14
ayat 1 huruf a RUU KPK. Pada intinya, mewajibkan KPK untuk memperoleh izin
penyadapan dari ketua Pengadilan Negeri. Menurut KPK, berdasar putusan Mahkamah Konstitusi
tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar
konstitusi sehingga perlu dipertahankan. Dan selama ini kewenangan menyadap sangat
mendukung keberhasilan KPK memberantas korupsi. Jika dicabut, akan melemahkan
upaya pemberantasan korupsi.
8. KPK dapat menghentikan penyidikan dan
penuntutan perkara korupsi.
Salah satu keistimewaan KPK saat ini
adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan
(SP3) dan juga penuntutan (pasal 40 UU KPK). Menurut ICW, hal ini adalah salah satu
parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus
dipastikan sangat matang.
9. KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai
secara mandiri.
Pasal 25 ayat 2 revisi menyebutkan bahwa
KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai mandiri. Yang dapat menjadi pegawai KPK adalah
pegawai negeri yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian
Komunikasi dan Informasi. Menurut KPK, lembaga ini harus diberikan
kewenangan rekruitmen pegawai mandiri, termasuk mengangkat penyelidik,
penyidik, penuntut umum. Mereka diangkat langsung oleh pimpinan KPK berdasar
kompentensi bukan status sebagai polisi atau jaksa.
10. KPK wajib lapor ke kejaksaan dan Polri
ketika tangani perkara korupsi.
Pasal 52 menyebutkan bahwa KPK wajib
memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada kepolisian dan kejaksaan ketika
menangani perkara korupsi.
Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi
di bawah kejaksaan dan kepolisian, karena dalam revisi UU ini, kewajiban tersebut
hanya ada bagi KPK, tapi tidak bagi kejaksaan dan kepolisian.
11. KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan
penyidik secara mandiri.
Serupa dengan definisi pegawai KPK yang
disebutkan dalam pasal 25 ayat (2) revisi UU KPK, ke depannya penyelidik dan
penyidik KPK pun dibatasi hanya dapat dipilih dari unsur kepolisian dan
kejaksaan, berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga, sebagaimana
disebutkan dalam pasal 41 ayat (3) revisi UU KPK.
12. Pemberhentian penyelidik dan penyidik
harus berdasarkan usulan kejaksaan dan Polri.
Selain pengangkatan penyelidik dan
penyidik yang harus didasarkan oleh usulan kejaksaan dan Polri, pasal 45 ayat
(1) revisi UU KPK menyebutkan pula bahwa pemberhentian penyelidik dan penyidik
juga harus didasarkan oleh usulan dari kejaksaan dan Kepolisian.
13. Pimpinan KPK berumur sekurangnya 50 tahun.
Berdasar pasal 30 revisi UU KPK, salah
satu syarat menjadi pimpinan KPK adalah berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan
setinggi-tinginya 65 tahun.
14.
Dewan Kehormatan
Kewenangan dari Dewan Kehormatan sangat
besar, salah satunya adalah kewenangan melakukan pemberhentian sementara dan
pemberhentian tetap sebagai pegawai KPK.
15. Dewan Eksekutif
Revisi UU KPK menambahkan satu lagi bagian
dari organisasi KPK yaitu, Dewan Eksekutif. Seperti disebutkan dalam pasal 23 ayat 6
RUU KPK, keberadaan anggota Dewan Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden. Ada kekhawatiran dari kalangan aktivis antikorupsi, dewan
eksekutif adalah titipan Istana.
Langkah DPR
merevisi UU KPK dinilai sengaja untuk melindungi koruptor. Menurut Pengajar
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan,
meski DPR ingin melemahkan KPK dan bahkan membubarkan lembaga anti rasuah ini,
langkah tersebut tak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah.
Dalam sidang
paripurna DPR, 23 Juni 2015, wakil rakyat kompak mengesahkan revisi UU KPK
masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Akan tetapi pada 19
Juni 2015, Presiden Jokowi sudah menyatakan menolak revisi tersebut. Karena Presiden Jokowi menilai bahwa revisi RUU
KPK yang diajukan DPR hanya akan
melemahkan keberadaan KPK sebagai penegak hukum
dalam memberantas tindak pidana korupsi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Untuk memerangi
korupsi diperlukan komitmen kuat dan kerja sama serta koordinasi yang baik
antar instansi pemerintah dan aparat penegak hukum. Tugas memberantas korupsi
hanya dapat dilakukan apabila semua komponen bangsa bersatu dan saling
mendukung dalam segala upaya pemberantasan korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas sudah
memberikan kewenangan kepada KPK yang sangat kuat dan besar untuk melakukan
pemberantasan korupsi secara sistemik dan tidak pandang bulu dalam menyeret para koruptor menjadikan KPK
sebagai tongggak utama dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya KPK satu demi satu pejabat pemerintah mulai masuk dalam
perangkap KPK dan triliunan uang negara pun terselamatkan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpedoman
kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas,
kepentingan umum, dan proposionalitas. Komisi
Pemberantasan Korupsi
(KPK) merupakan
lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki
kasus tindak pidana korupsi dan bertanggung jawab menyampaikan hasil laporannya
kepada publik.
Sejak dibentuk pada
tahun 2003, KPK telah banyak
koruptor kelas kakap yang dijerat KPK, meskipun memang harus diakui dalam
prakteknya, masih ada kekurangan-kekurangan KPK selama ini.
Sebagai lembaga
super (super body) yang memiliki
kewenangan-kewenangan luar biasa, tidak
semua orang setuju dan mendukung adanya KPK. Upaya-upaya untuk melemahkan
kewenangan KPK pun dilakukan oleh oknum elit politik yang tertuang dalam usulan
Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Upaya dalam
pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berujung pada Inpres Nomor 7 /
2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK) menempatkan posisi lembaga tersebut hanya
sebagai lembaga pencegahan korupsi dan posisinya sejajar dengan lembaga penegak hukum
lainnya seperti Kejaksaan dan Polri. Terkait dengan Revisi UU KPK, usulan tersebut telah
ditolak oleh Presiden Jokowi karena hanya akan mengamputasi kewenangan yang
dimiliki oleh KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.
0 Response to "PENEGAK HUKUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI"
Posting Komentar