-->

PENEGAK HUKUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolak ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Berdasarkan laporan terbaru dari lembaga Transparency Internasional (TI), Indonesia masih menempati posisi bawah untuk Negara terbersih dari korupsi. Di tahun 2014, Indonesia berada di peringkat 107 dari 177 bersama Argentina dan Djidouti. Peringakat ke-107 itu berarti Indonesia memiliki skor 34 dengan skala 0-100[1].
Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru dan menjadi endemik yang sangat lama semenjak pemerintahan Suharto dari tahun 1965 hingga tahun 1997. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri di bawah standar hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Selain itu, sistem peradilan pidana di Indonesia tidak berjalan efektif untuk memerangi korupsi, sehingga pelaku korupsi terbebas dari jeratan hukum.
 Menurut Bank Dunia, bahwa korupsi di Indonesia terjadi dimana-mana di berbagai level golongan pegawai negeri sipil, tentara, polisi dan politisi bahkan sudah melanda beberapa kelembagaan seperti Kepolisian, Kejaksaan, Peradilan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang seharusnya bertugas untuk memberantas korupsi[2]. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengemukakan bahwa hal tersebut di atas menghasilkan krisis ekonomi di Indonesia yang berujung dengan kejatuhan rezim Suharto.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat  dari  tahun  ke  tahun,  baik  dari  jumlah  kasus  yang  terjadi  dan  jumlah  kerugian keuangan  negara  maupun  dari  segi  kualitas  tindak  pidana  yang  dilakukan  semakin  sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hal itu juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan    secara konvensional  selama  ini  terbukti  mengalami  berbagai  hambatan.  Untuk  itu  diperlukan  metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari   kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Dalam hal ini Pemerintahan Indonesia telah melakukan upaya dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang  dalam  berbagai  peraturan  perundang-undangan,  antara  lain  dalam  Ketetapan  Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia  Nomor  XI/MPR/1998  tentang  Penyelenggara Negara  yang  Bersih  dan  Bebas  Korupsi,  Kolusi,  dan  Nepotisme;  Undang-Undang  Nomor  28 Tahun  1999  tentang  Penyelenggara  Negara  yang  Bersih  dan  Bebas  dari  Korupsi,  Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999    tentang Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  sebagaimana  telah  diubah  dengan  Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dibentuk badan khusus untuk memberantas korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat KPK yang ditetapkan secara resmi dengan adanya UU. Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan setelah terpilihnya pimpinan dan Ketua KPK pada tanggal 16 Desember 2003.


1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut diatas, maka penulis ingin mengemukakan tentang :
1.    Apa tujuan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi ?
2.   Bagaimana peranan KPK dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ?
3.   Mengapa terjadi isu pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK, adalah Instansi penegak hukum di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini dibentuk berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan Negara, perekonomian Negara, dan menghambat pembangunan nasional.
 Pembentukan KPK bukanlah dibentuk dengan secara tiba-tiba, KPK dibentuk tanggal 27 Desember 2002 pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri, sekalipun gagasan perlunya lembaga ini dibentuk telah lahir pada masa kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Jika ditinjau dari aspek historis pemberantasan korupsi di Indonesia, KPK bukanlah institusi pertama yang pernah dibentuk untuk memberantas korupsi di Indonesia. Sejarah mencatat sejak periode tahun 1963 - 2002, setidaknya sudah delapan lembaga/tim pemberantasan tindak pidana korupsi pernah dibentuk sebagai upaya pemberantasan korupsi;
1.      Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN),
2.      Operasi BUDHI, melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963,
3.      Tim Pemberantasan Korupsi (1967) tanggal 2 Desember 1967, melalui Keppres No. 228/1967,
4.      Komisi Empat, melalui Keppres No. 12/1970 tertanggal 31 Januari 1970,
5.      Operasi Penertiban, Tahun 1977 melalui Inpres No. 9/1977,
6.      Tim Pemberantasan Korupsi (1982),
7.      Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
8.      Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2000.
 Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai Trigger Mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk karena pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan korupsi perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan. Tujuan dibentuknnya KPK itu sendiri tidak lain adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional begitu parahnya maka korupsi di Indonesia sudah dikategorikan sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime). Cara penanganan korupsi harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK yang mempunyai wewenang luar biasa, sehingga kalangan hukum menyebutnya sebagai suatu lembaga super (super body).
Dalam proses pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi, tidak kalah  pentingnya adalah sumber daya manusia yang akan  memimpin  dan  mengelola  Komisi  Pemberantasan  Korupsi. Undang-Undang  ini  memberikan  dasar  hukum  yang  kuat  sehingga  sumber  daya  manusia tersebut dapat konsisten dalam melaksanakan tugas   dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang.
Pimpinan  Komisi  Pemberantasan  Korupsi  terdiri  dari  5  (lima)  orang  yang  merangkap  sebagai Anggota yang semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan  penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, artinya tidak boleh ada intervensi dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin. Yang dimaksud dengan kekuasaan manapun adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota KPK secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun.
Selain independen, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga merupakan lembaga yang sifatnya Ad-hoc. Dibentuknya KPK sebagai lembaga negara yang independen, kuat, dan permanen tidak tercederai dengan pemahaman yang keliru dan menyalahartikan istilah ad hoc sebagai suatu yang bersifat sementara. Arti ad hoc bukanlah sementara, melainkan untuk tujuan khusus/tertentu.
Menurut pendapat pimpinan KPK periode 2003-2007 Erry Riyana Hardjapamekas, mengatakan bahwa istilah “ad-hoc” yang merupakan bahasa latin, menurut Black’s Law Dictionary berarti “formed for a particular purpose” atau “dibentuk untuk tujuan tertentu”. Dalam kaitannya dengan KPK, maka KPK dibentuk dengan tujuan untuk memberantas korupsi di negeri ini.
Memaknai KPK sebagai lembaga permanen sangatlah penting karena KPK berdasarkan sejarah pembentukannya memang bukan lembaga yang dibentuk untuk sementara waktu (ad interim), melainkan sesuai dengan semangat penciptaannya KPK disiapkan sebagai lembaga negara yang permanen, kuat dan independen (bebas dari pengaruh kekuasaan manapun) dengan tujuan khusus (ad hoc dalam pengertian yang benar), yaitu membebaskan Indonesia dari korupsi.
Dalam  UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) tidak ada satu pasal pun dalam UU tersebut yang menyatakan KPK adalah lembaga ad hoc, demikian juga dalam penjelasan dan pertimbangannya.  Namun, sejak didirikannya pada tahun 2003 KPK telah banyak membawa perubahan yang sangat besar dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika masa sebelum adanya KPK banyak kasus korupsi yang tak tersentuh hukum, khususnya yang melibatkan para penguasa, namun sejak KPK berdiri sudah banyak kasus-kasus besar yang ditangani dan dijatuhi hukuman.
Gagasan bahwa KPK bersifat sementara adalah gagasan yang kontraproduktif, karena faktanya korupsi terus menjadi permasalahan yang sangat besar di Indonesia dan kebutuhan akan adanya lembaga independen seperti KPK akan selalu ada. Jadi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan selalu ada selama korupsi itu masih ada di Indonesia.

2.2  Peranan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Untuk melakukan peranannya KPK diberikan kewenangan yang luar biasa seperti yang diatur dalam Pasal 6 butir b, c, d dan e UU. No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  bahwa lembaga ini dapat bertindak mulai dari:
  1. Mensupervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi,
  2. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan   tindak   pidana korupsi,
3.      Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,
  1. Melakukan tindakan pencegahan korupsi,
  2. Memonitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Pada saat sekarang pemberantasan tindak pidana korupsi sudah dilaksanakan oleh  berbagai institusi seperti kejaksaan dan kepolisian dan badan-badan lain yang  berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, oleh karena itu pengaturan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Undang-Undang ini dilakukan secara berhati-hati agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dengan berbagai instansi tersebut. Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, KPK juga diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
  1. Melibatkan aparat pengak hukum, penyelengara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat pengak hukum dan penyelengara negara;
  2. Mendapat perhatian dan meresahkan masyarakat; dan/atau
  3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Dalam pelaksanaan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan : 
a.       Kepastian Hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan   landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap    kebijakan  menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi; 
b.      Keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi  yang  benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja  Komisi  Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya;
c.       Akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi  Pemberantasan  Korupsi  harus  dapat  dipertanggungjawabkan  kepada  masyarakat atau   rakyat   sebagai   pemegang   kedaulatan   tertinggi   negara   sesuai   dengan   peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d.      Kepentingan  Umum  adalah  asas  yang  mendahulukan  kesejahteraan  umum  dengan  cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
e.       Proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara tugas, wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dalam melaksanakan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK.
Untuk memerangi tindak pidana korupsi yang dikategorikan sebagai tindak pidana luara biasa (extra ordinary crime), maka KPK diberi tambahan kewenangan yang tidak dimiliki instititusi lain yaitu:
  1. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
  2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang berpergian keluar negeri;
  3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
  4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
  5. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi terkait;
  6. Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
  7. Meminta bantuan interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri;
  8. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
Melihat kewenangan yang dimiliki oleh KPK, maka tidak heran kalau kalangan hukum menyebutnya sebagai lembaga super (superbody). Disamping itu, peranan KPK melebihi dari Kepolisian dan Kejaksaan dimana Kepolisian dan Kejaksaan dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SPPP) dalam perkara tindak pidana korupsi, sebaliknya berdasarkan Pasal 40 UU Nomor 30 Tahun 2002, KPK tidak berwenang mengeluarkan SPP untuk menghindari adanya main mata antara tersangka dan aparat KPK. Dengan kewenangan yang super tersebut KPK mampu mengeliminasi korupsi secara konseptual dan sistematis.
Dalam pelaksanaannya KPK memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Dengan kewenangan itu pula, KPK menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan elit politik yang korupsi, karena KPK dapat menangkap para pelaku korupsi yang telah di curigai kapan pun dan dimana pun. Seperti dalam kasus penangkapan terhadap jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap langsung oleh KPK dengan mencegat mobilnya di pinggir jalan. Demikian juga dengan pemeriksaan KPK terhadap tersangka kasus korupsi Al Amin Nasution, KPK tanpa segan-segan menggeledah kantor anggota DPR RI tersebut.
Melihat dari sikap KPK yang tergolong tegas dan tepat itu, mungkin menjadi terapi shock kepada para koruptor lainnya. Secara tidak langsung kewenagan KPK yang terkadang dianggap melanggar privasi seseorang, menjadi salah satu hal yang dapat membuat orang untuk berpikir ulang untuk melakukan tindak pidana korupsi karena takut ditangkap oleh KPK yang datang seperti angin tanpa bisa diduga.

2.3    Isu Upaya Pelemahan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
Selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berusaha melaksanakan tugas yang diamanahkan oleh undang-undang dengan semaksimal mungkin memanfaatkan kewenangan yang ada. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK memberi kewenangan – kewenangan yang begitu besar kepada KPK, menjadikannya sebagai lembaga super (super body) satu-satunya di Indonesia di bidang penegak hukum.  Namun, sebagai lembaga super yang mempunyai wewenang yang luar biasa, sekarang justru menjadi bumerang untuk KPK itu sendiri.
Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ‘tenar pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi jargon politik untuk menarik simpati rakyat dalam pemilihan Presiden 2009. Namun sayangnya, seiring berakhirnya masa jabatan Presiden SBY 2004-2009, pesona KPK pun turut memudar. Sebagai Lembaga Pemberantas Korupsi, tidak semua orang setuju dan mendukung adanya KPK. Ada saja oknum-oknum tertentu yang berusaha untuk membatasi atau melemahkan wewenang KPK. Kekuasaan besar KPK juga tidak lepas dari ancaman dari para koruptor dan elit politik yang tidak berkepentingan.
Sejak didirikan pada tahun 2003, KPK banyak menghadapi masalah kriminalitas terhadap para pimpinannya (KPK) yang dianggap sebagai ajang balas dendam oleh orang-orang yang selama ini dijerat kasus korupsi. Dimulai ketika pimpinan KPK, Antasari Azhar terseret kasus pembunuhan Nazaruddin Zulkarnaen, dan menyusul pimpinan-pimpinan KPK lainnya yang juga tersandung kasus hukum yang penuh dengan konspirasi dan kejanggalan. Yang lebih ironisnya upaya-upaya besar untuk melemahkan KPK datang dari Polri dan DPR. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sudah lemah, dan tak berdaya masih dihantam bertubi-tubi oleh berbagai rekayasa dan persekongkolan para elite politik.
Spirit pemberantasan korupsi telah mati di tangan kekuasaan yang cenderung melindungi kepentingan-kepentingan pihak tertentu di lingkaran kekuasaan. Pada 6 Mei 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Nomor 7 / 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK). Inpres ini pada intinya melimpahkan tugas pemberantasan korupsi kepada lembaga dan instansi pemerintah. KPK ditempatkan sejajar dengan Kejagung dan Polri. Tugas KPK diarahkan lebih kepada upaya pencegahan korupsi. Upaya melemahkan KPK mencapai puncaknya saat diajukannya usulan revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Pemerintah (DPR) berdalih bahwa tujuan utama revisi UU KPK mutlak untuk memperkuat KPK demi kepentingan rakyat. Revisi ini diharapkan mencegah adanya penyalahgunaan Institusi KPK untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu. Namun, wacana memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan upaya sejumlah pihak untuk melemahkan lembaga anti korupsi tersebut. Ini karena draf revisi UU tersebut berisi sejumlah hal untuk melemahkan KPK. Berikut ini beberapa usulan yang melemahkan KPK dari revisi UU KPK yang diajukan oleh DPR :
1.      Umur KPK dibatasi hanya 12 tahun
Pasal 5 dan pasal 73 revisi UU KPK ini menyebutkan secara spesifik bahwa usia KPK hanya 12 tahun sejak revisi UU KPK disahkan.
Menurut KPK, tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK. Sebab, pasal 2 angka 2 TAP MPR No. 8 tahun 2001 mengamanatkan pembentukkan KPK dan tidak disebutkan adanya pembatasan waktu.
2.      KPK tidak lagi miliki tugas dan kewenangan lakukan penuntutan
Revisi UU KPK menghapuskan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan. Hal ini tercantum dalam pasal 53 revisi UU KPK.
Implikasi dari pasal ini adalah KPK tidak lagi memiliki kewenangan menuntut, dan proses penanganan perkara di lembaga antirasuah akan diserahka kepada kepolisian.
3.      KPK kehilangan tugas dan kewenangan monitoring.
Selain hilangnya penuntutan, revisi UU KPK juga menghilangkan tugas KPK dalam melakukan monitoring.
4.      KPK hanya bisa tangani perkara korupsi dengan kerugian negara Rp 50 miliar ke atas.
Ini berarti bahwa KPK harus menyerahkan penyidikan kepada kepolisian dan kejaksaan. Menurut ICW, jika berkaca dari UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK yang berlaku sekarang, nilai kerugian negara yang ditentukan bagi KPK hanya sebesar Rp 1 miliar. Dengan angka ini, ada banyak perkara korupsi besar (grand corruption) yang juga berhasil diungkap oleh KPK. Menurut KPK, pembatasan ini tidak mendasar karena lembaga ini fokus kepada subyek hukum, bukan pada kerugian negara.
5.      KPK lebih diarahkan pada tugas pencegahan Korupsi.
Diatur dalam pasal 1 angka 3, yang berbunyi:
"Pemberantasan korupsi adalah serangkaian kegiatan untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi melalui koordinasi, supervisi, monitoring penyelenggaraan negara yang berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi."
6.      KPK tidak dapat membuat perwakilan di daerah provinsi.
Dalam UU KPK yang saat ini berlaku, pasal 16, KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah provinsi.
7.      KPK harus mendapatkan izin ketua pengadilan untuk lakukan penyadapan.
Izin penyadapan ini diatur dalam pasal 14 ayat 1 huruf a RUU KPK. Pada intinya, mewajibkan KPK untuk memperoleh izin penyadapan dari ketua Pengadilan Negeri. Menurut KPK, berdasar putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu dipertahankan. Dan selama ini kewenangan menyadap sangat mendukung keberhasilan KPK memberantas korupsi. Jika dicabut, akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
8.      KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi.
Salah satu keistimewaan KPK saat ini adalah tidak adanya mekanisme penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dan juga penuntutan (pasal 40 UU KPK). Menurut ICW, hal ini adalah salah satu parameter yang menjamin kualitas penanganan perkara di KPK yang harus dipastikan sangat matang.
9.      KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri.
Pasal 25 ayat 2 revisi menyebutkan bahwa KPK tidak bisa melakukan rekrutmen pegawai mandiri. Yang dapat menjadi pegawai KPK adalah pegawai negeri yang berasal dari Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangungan, dan Kementerian Komunikasi dan Informasi. Menurut KPK, lembaga ini harus diberikan kewenangan rekruitmen pegawai mandiri, termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, penuntut umum. Mereka diangkat langsung oleh pimpinan KPK berdasar kompentensi bukan status sebagai polisi atau jaksa.
10.  KPK wajib lapor ke kejaksaan dan Polri ketika tangani perkara korupsi.
Pasal 52 menyebutkan bahwa KPK wajib memberi notifikasi (pemberitahuan) kepada kepolisian dan kejaksaan ketika menangani perkara korupsi.
Kewajiban ini menempatkan KPK dalam posisi di bawah kejaksaan dan kepolisian, karena dalam revisi UU ini, kewajiban tersebut hanya ada bagi KPK, tapi tidak bagi kejaksaan dan kepolisian.
11.  KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri.
Serupa dengan definisi pegawai KPK yang disebutkan dalam pasal 25 ayat (2) revisi UU KPK, ke depannya penyelidik dan penyidik KPK pun dibatasi hanya dapat dipilih dari unsur kepolisian dan kejaksaan, berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga, sebagaimana disebutkan dalam pasal 41 ayat (3) revisi UU KPK.
12.  Pemberhentian penyelidik dan penyidik harus berdasarkan usulan kejaksaan dan Polri.
Selain pengangkatan penyelidik dan penyidik yang harus didasarkan oleh usulan kejaksaan dan Polri, pasal 45 ayat (1) revisi UU KPK menyebutkan pula bahwa pemberhentian penyelidik dan penyidik juga harus didasarkan oleh usulan dari kejaksaan dan Kepolisian.
13.  Pimpinan KPK berumur sekurangnya 50 tahun.
Berdasar pasal 30 revisi UU KPK, salah satu syarat menjadi pimpinan KPK adalah berumur sekurang-kurangnya 50 tahun dan setinggi-tinginya 65 tahun.
14.  Dewan Kehormatan
Kewenangan dari Dewan Kehormatan sangat besar, salah satunya adalah kewenangan melakukan pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap sebagai pegawai KPK.
15.  Dewan Eksekutif
Revisi UU KPK menambahkan satu lagi bagian dari organisasi KPK yaitu, Dewan Eksekutif. Seperti disebutkan dalam pasal 23 ayat 6 RUU KPK, keberadaan anggota Dewan Eksekutif yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ada kekhawatiran dari kalangan aktivis antikorupsi, dewan eksekutif adalah titipan Istana. 
Langkah DPR merevisi UU KPK dinilai sengaja untuk melindungi koruptor. Menurut  Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, mengatakan, meski DPR ingin melemahkan KPK dan bahkan membubarkan lembaga anti rasuah ini, langkah tersebut tak akan berhasil tanpa dukungan pemerintah.  
Dalam sidang paripurna DPR, 23 Juni 2015, wakil rakyat kompak mengesahkan revisi UU KPK masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Akan tetapi pada 19 Juni 2015, Presiden Jokowi sudah menyatakan menolak revisi tersebut. Karena Presiden Jokowi menilai bahwa revisi RUU KPK yang diajukan DPR hanya akan  melemahkan keberadaan KPK sebagai penegak hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi.

                      




BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Untuk memerangi korupsi diperlukan komitmen kuat dan kerja sama serta koordinasi yang baik antar instansi pemerintah dan aparat penegak hukum. Tugas memberantas korupsi hanya dapat dilakukan apabila semua komponen bangsa bersatu dan saling mendukung dalam segala upaya pemberantasan korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 secara jelas sudah memberikan kewenangan kepada KPK yang sangat kuat dan besar untuk melakukan pemberantasan korupsi secara sistemik dan tidak pandang bulu dalam menyeret para koruptor menjadikan KPK sebagai tongggak utama dalam pemberantasan korupsi. Dengan adanya KPK satu demi satu pejabat pemerintah mulai masuk dalam perangkap KPK dan triliunan uang negara pun terselamatkan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan penuh untuk menangkap dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi dan bertanggung jawab menyampaikan hasil laporannya kepada publik.
Sejak dibentuk pada tahun 2003, KPK telah banyak koruptor kelas kakap yang dijerat KPK, meskipun memang harus diakui dalam prakteknya, masih ada kekurangan-kekurangan KPK selama ini.
Sebagai lembaga super (super body) yang memiliki kewenangan-kewenangan  luar biasa, tidak semua orang setuju dan mendukung adanya KPK. Upaya-upaya untuk melemahkan kewenangan KPK pun dilakukan oleh oknum elit politik yang tertuang dalam usulan Revisi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Upaya dalam pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berujung pada Inpres Nomor 7 / 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Aksi PPK) menempatkan posisi lembaga tersebut hanya sebagai lembaga pencegahan korupsi dan posisinya sejajar dengan lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Polri. Terkait dengan Revisi UU KPK, usulan tersebut telah ditolak oleh Presiden Jokowi karena hanya akan mengamputasi kewenangan yang dimiliki oleh KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi.

0 Response to "PENEGAK HUKUM KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel