MAKALAH SISTEM POLITIK INDONESIA
MAKALAH
SISTEM POLITIK
INDONESIA
“Pengaruh Sistem Trias Politika Dalam Pembagian
Kekuasan Pemerintahan Indonesia”
DOSEN
PENGAMPU :Drs. H. Wahyu Subadi M.Si
PENYUSUN
ACHMAD ABDUL SHOKHEH
NIM :
215.057.20202.0279
SEKOLAH
TINGGI ILMU ADMINISTRASI TABALONG
PROGRAM
STUDI ADMINISTRASI BISNIS
TAHUN 2017
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................................. i
Kata Pengantar............................................................................................................ ii
Daftar Isi.................................................................................................................... iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah........................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan............................................................................................. 2
D. Manfaat Penulisan........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pencetus Trias
Politika.................................................................................... 3
1.
Pengertian Trias Politika menurut John Locke......................................... 3
B. Pengaruh
Sistem Trias Politika Dalam Pemerintahan Indonesia.................... 5
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................... 13
B. Saran............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 15
KATA PENGANTAR
Dengan
mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayat-Nya kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah Sistem
Politik Indonesia yang berjudul “Pengaruh Trias Politika Dalam Pembagian
Kekuasaan Pemerintahan Indonesia”.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih kurang
sempurna oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari
semua pihak sangat diharapkan.
Akhirnya melalui kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih kepada teman
semuanya yang telah membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan. Penyusun
mengharapkan semoga makalah ini berguna bagi penyusun khususnya dan pembaca
pada umumnya.
Tanjung, 28 Mei 2017
Penyusun
Achmad Abdul Shokheh
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam sebuah praktek ketatanegaraan
tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi
pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter,
sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada
ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya
pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan
diantara lembaga pemegang kekuasaan
Dalam prinsip demokrasi ada yang namanya trias politika, yaitu pembagian
kekuasaan didalam sebuah pemerintahan untuk mencapai sebuah kestabilan Negara.
Ketiga unsur tersebut adalah Legislatif
selaku pembuat UU, Eksekutif
selaku pelaksana UU dan Yudikatif
sebagai pengawas pelaksanaan UU. Konsep yang dibangun Montesquieu itu
sebenarnya sangat bagus. Legislatif
sebagai perwakilan rakyat membuat UU yang mana UU itu hakikatnya adalah kemauan
rakyat. Kemudian untuk melaksanakan kemauan rakyat itu dibutuhkan sebuah
panitia agar kemauan rakyat itu bisa berjalan. Fungsi itulah yang yang
dijalankan eksekutif atau yang
biasa kita sebut pemerintah [meskipun penamaan pemerintah itu tidak terlalu
tepat karena berkesan yang memerintah, padahal pemerintah itu sebenarnya
pelayan rakyat -red]. Untuk mengawasi apabila pelaksanaan kemauan rakyat
dibentuklah yudikatif. Jadi
dengan demikian sesuai prinsip demokrasi dimana vox populi vox dei
[suara rakyat adalah suara Tuhan] maka rakyat benar-benar dimanja dengan
triaspolitika ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah pengertian trias
politica?
2.
Bagaimanakah Sejarah trias
politica?
3.
BagaimanakahPrinsip CheckandBalance
?
4.
BagaimanakahTrias Politica di Indonesia?
5.
BagaimanakahRekrutmen
Politika?
6.
BagaimanakahFungsi
Rekrutmen Politik ?
7.
Bagaimanakah Kasus Rekruitmen
Politik ?
1.3 Tujuan
1. Untuk
mengetahui pengertian trias politica
2.
Untuk mengetagui sejarah
trias politica
3.
Untuk mengetahui Prinsip CheckandBalance
4.
Untuk mengetahui bagaimana
Trias
Politica di Indonesia
5. Untuk
mengetahui bagaimana Rekrutmen Politika
6. Untuk
mengetahui Fungsi Rekrutmen Politik
7. Kasus Rekruitmen Politik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Trias Politika
merupakan
konsep pemerintahan yang kini banyak dianut diberbagai negara di aneka belahan
dunia. Konsep dasarnya adalah, kekuasaan di suatu negara tidak boleh
dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik melainkan harus terpisah di
lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Trias
Politika yang kini banyak diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3
lembaga berbeda: Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Legislatif adalah
lembaga untuk membuat undang-undang; Eksekutif adalah lembaga yang melaksanakan
undang-undang; dan Yudikatif adalah lembaga yang mengawasi jalannya
pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang
jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan
manapun yang melanggar undang-undang.
Dengan
terpisahnya 3 kewenangan di 3 lembaga yang berbeda tersebut, diharapkan
jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari korupsi pemerintahan
oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling
koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di
tiap negara tidak selamanya serupa, mulus atau tanpa halangan.
2.2
Sejarah Trias Politika
Pada masa
lalu, bumi dihuni masyarakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi
diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang
biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik
yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku
tersebut.
Pada
perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para
tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada
dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias
Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi
Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili
aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan
Perwakilan Daerah (DPD).
Namun,
keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut
mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan
kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut
yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di
keduanya.
Pada abad
Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi
persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan.
Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan
antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai
koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul
semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat
politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John
Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual
Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu
negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk
keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran
intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah
John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu,
dari Perancis.
·
John Locke (1632-1704)
Pemikiran
John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang
ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam
karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja
(mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)."
Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja
dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil
pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja
ini ?
Dalam masa
ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi
yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara
sewenang-wenang melakukan akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih
beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang
dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun
kastil.
Negara ada
dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain,
demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu
adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang
raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah
Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
1. Kekuasaan Legislatif adalah
kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam
undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai.
Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya.
Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat
secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam
kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke
adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
2. Eksekutif adalah kekuasaan untuk
melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di
tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri
undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
3. Federatif adalah kekuasaan menjalin
hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip
dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk
membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan
damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan
kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari
pemikiran politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3
kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan
kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian
Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurnakan oleh rekan
Perancisnya, Montesquieu.
·
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu
(nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya
setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum
opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan
dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut: “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam
kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang
berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang
mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasaatau magistrat mengeluarkan
hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau
perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan
untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau
memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut
kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak
diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari
pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami
persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab
Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
1.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya
membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan
Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat),
ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui
mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari
partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami
ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termasuk beberapa fungsi dari
kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking,
Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan
Representation.
a) Lawmaking
adalah fungsi
membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah
Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional,
Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya.
Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level
masyarakat.
b) Constituency
Work
Adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang
anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di
Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang
sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang
anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap
kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?
c) Supervision
and Criticism Government
Berarti fungsi legislatif untuk
mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan
segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi
ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket,
maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
d)
Education,
Adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan
politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa
mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para
pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai
bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap
saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi,
surat kabar, ataupun internet.
e) Representation
Merupakan fungsi dari anggota
legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia,
seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah,
ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks
negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita
bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh
sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur
gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang
kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari
masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
2.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif
adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif.
Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state,
Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser
of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif
di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri.
Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana
Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan
seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang
bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan
memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian
konflik, dan sejenisnya.
a) Head of
Government
Artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau
Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya
mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat
dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan
pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara,
terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala
pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian
pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh
Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala
pemerintahan dipegang oleh Presiden.
b) Party
Chief
Berarti seorang kepala eksekutif
sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi
sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan
dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu.
Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak
berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan
hal tersebut. Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu
1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan
parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif
oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam
pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk
memilih presiden terpisah.
c) Commander
in Chief
Adalah fungsi mengepalai angkatan
bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan
bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki
latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan
dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah
orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur,
di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak
yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi
di masa pemerintahannya.
d) Chief
Diplomat
Merupakan fungsi eksekutif untuk
mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia.
Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif,
kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks
aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat
duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari
negara lain.
e) Dispensen
Appointment
Merupakan fungsi eksekutif untuk
menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam
fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun
anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana
menteri.
f) Chief
Legislation
Adalah fungsi eksekutif untuk
mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat
undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara
dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang
oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui
oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
3.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan
Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas
setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan
kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense,
misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian,
warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran
kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi
negara); International law (perjanjian internasional).
a) Criminal
Law,
penyelesaiannya biasanya dipegang
oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan
Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah
Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri,
tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
b) Constitution
Law,
kini penyelesaiannya ditempati oleh
Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara
mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian
sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
c) Administrative
Law,
penyelesaiannya dilakukan di
Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi,
dan sejenisnya.
d) International
Law,
tidak diselesaikan oleh badan yudikatif
di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB).
Upaya pengawasan dan
keseimbangan antara badan-badan yang mengatur Trias Politica memiliki prinsip-prinsip
dengan berbagai macam variasi, misalnya:
a)
The four branches: legislatif, eksekutif, yudikatif, dan media. Di sini media di
gunakan sebagai bagian kekuatan demokrasi keempat karena media memiliki
kemampuan kontrol, dan memberikan informasi.
b)
Di Amerika Serikat, tingkat
negara bagian menganut Trias Politica sedangkat tingkat
negara adalah badan yudikatif.
c)
Di Korea Selatan, dewan lokal
tidak boleh intervensid) Sementara itu, di
Indonesia, Trias Politica tidak di tetapkan secara
keseluruhan. Legislatif di isi dengan DPR, eksekutif di isi dengan jabatan
presiden, dan yudikatif oleh mahkamah konstitusi dan mahkamah agung.
2.4 Trias Politica di Indonesia
Indonesia juga menerapkan teori
tentang Trias Politica, namun sistem penerapannya berbeda ini disesuaikan
dengan konteks sosial-politik di Indonesia. Jika dalam konsep asli “Trias
Politica” menghendaki pemisahan kekuasaan (sparation of power),
Indonesia memodifikasi menjadi pembagian kekuasaan (devision of power or
distribution of power) tanpa menghilangkan esensi-esensi dasar teori itu,
seperti perlunya kontrol terhadap kekuasaan eksekutif dan lain-lain.
Meskipun UUD 1945 tidak menjelaskan
secara eksplisit bahwa doktrin “Trias Politica” dianut, namun UUD 1945
menyelami jiwa dari demokrasi konstitusional, dapat disimpulkan bahwa Indonesia
menganut “Trias Politica” dalam arti pembagian kekuasaan.
Apabila ajaran Trias Politica diartikan
suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut
ajaran tersebut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisahkan
dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada
suatu alat perlengkapan negara.
Di dalam UUD 1945 telah termuat
penjelasan pembagian kekuasaan, misalnya BAB III “Kekuasaan Pemerintahan
Negara”, BAB VII “Dewan Perwakilan Rakyat”, dan BAB IX “Tentang Kekuasaan
Kehakiman”. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh presiden bersama-sama dengan
DPR. Kekuasaan Eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh menteri-menteri,
sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung.
Sistem
penyelenggaraan pemerintahan di negara kita setelah amandemen Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, telah melakukan dengan
sistem pemisahan kekuasaan atau yang dikenal dengan “separaticion of power”.
Dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan legislatif dipegang oleh DPR dan DPD.
DPR memiliki fungsi
legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan pemerintahan.
DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Namun demikian, setiap Rancangan
Undang-Undang (RUU) harus dibahas dan mendapat persetujuan bersama antara DPR
dan Presiden sehingga terdapat keseimbangan. Sedangkan DPD hanya dapat
mengajukan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pemekaran daerah, pengelolah sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
Dalam
hubungannya dengan kekuasaan eksekutif dipegang oleh Presiden, namun harus
dijalankan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar dan sesuai peraturan
perundang-undangan lainnya. Disamping itu prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi, Presiden juga berhak mengajukan RUU kepada DPR.
Berkaitan
dengan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan dibawahnya dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi,
menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap UU, dan
mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh UU. Pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah UU adalah bentuk pengawasan dan untuk
mengimbangi kewenangan peraturan yang dimiliki oleh eksekutif.
Sedangkan Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Sedangkan Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas
dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.
Trias Politica yang
berlaku di Indonesia diatur dalam UUD 1945, dimana kekuasaan tersebut yaitu :
a) Kekuasaan legislatif
yaitu DPR
Pasal 20 ayat (1), yang berbunyi “Tiap undang-undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
yang berarti DPR memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang.
b) Kekuasaan eksekutif
yaitu Presiden
Pasal 4 ayat (1), yang berbunyi “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut
Undang-Undang Dasar” memegang kekuasaan pemerintahan .
c) Kekuasaan
yudikatif yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Pasal 24 ayat (1), yang berbunyi “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang-undang” yang berarti memegang kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
Berdasarka penjelasan mengenai Trias Politica di atas,
secara umum trias politica di Indonesia, ada beberapa fungsi dan tujuan negara
yang diuraikan secara lebih jauh. Selain
pembagian kekuasaan menurut fungsinya yang berkaitan dengan konsep
“Trias Politica”, negara juga mempunyai fungsi dan tujuan yang lain, dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir dari suatu negara adalah menciptakan kebahagiaan
bagi rakyatnya (bonum publicum, common good, common wealth).
2.5 Rekrutmen
Politika
1. Pengertian Rekrutmen Politik
Rekrutmen
politik adalah proses pengisian jabatan-jabatan pada lembaga-lembaga politik termasuk
partai politik dan administrasi atau birokrasi oleh orang-orang yang akan
menjalankan kekuasaan politik (Suharno, 2004: 117). Sedangkan menurut Cholisin,
rekrutmen politik adalah seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk
melaksanakan sejumlah peran dalam system politik pada umumnya dan pemerintahan
pada khususnya (Cholisin, 2007: 113).
Rekrutmen politik adalah suatu proses seleksi anggota-aggota kelompok untuk
mewakili kelompoknya dalam jabatan administratif maupun politik. Dalam pengertian
lain, rekrutmen politik merupakan fungsi penyelekksian rakyat untuk kegiatan
politik dan jabatan pemerintahan melalui penampilan dalam media komunikasi,
menjadi anggota organisasi, mencalonkan diri untuk jabatan tertentu dan
sebagainya.
Setiap sistem politik memiliki sistem atau prosedur rekrutmen yang berbeda.
Anggota kelompok yang direkrut adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat
yang sangat dibutuhkan untuk suatu jabatan politik. Setiap partai juga memiliki
pola rekrutmen yang berbeda. Pada referensi yang lain, kita bisa menemukan
definisi atau pengertia rekrutmen politik yang lebih memperhatikan sudut
pandang fungsionalnya, yaitu “The process by which citizens are selected for
involvement in politics”. Pengertia tersebut di atas menjelaskan bahwa
rekrutmen politik adalah proses yang melibatkan warga negara dalam politik.
Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung melalui pemilu setelah setiap
calon peserta yang diusulkan oleh partainya diseleksi secara ketat oleh suatu
badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi administrative, penelitian khusus
yanitu menyangkut kesetiaaan pada ideology Negara.
Adapun beberapa pilihan partai politik dalam proses rekrutmen politik
adalah sebagai berikut;
- Partisan, yaitu merupakan pendukung yang kuat, loyalitas tinggi terhadap partai sehingga bisa direkrut untuk menduduki jabatan strategis.
- Compartmentalization, merupakan proses rekrutmen yang didasarkan pada latar belakang pendidikan dan pengalaman organisasi atau kegiatan sosial politik seseorang, misalnya aktivis LSM.
- Immediate survival, yaitu proses rekrutmen yang dilakukan oleh otoritas pemimpin partai tanpa memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan direkrut.
- Civil service reform, merupakan proses rekrutmen berdasarkan kemampuan dan loyalitas seorang calon sehingga bisa mendapatkan kedudukan lebih penting atau lebih tinggi.
Ada beberapa hal menurut Czudnowski,
yang dapat menentukan terpilihnya seseorang dalam lembaga legislatif,
sebagaimana berikut;
- Social background : Faktor ini berhubungan dengan pengaruh status sosial dan ekonomi keluarga, dimana seorang calon elit dibesarkan.
- Political socialization : Merupakan suatu proses yang menyebabkan seorang menjadi terbiasa dengan tugas-tugas yang harus diilaksanakan oleh suatu kedudukan politik.
- Initial political activity : Faktor ini menunjuk kepada aktivitas atau pengalaman politik calon elit selama ini.
- Apprenticeship : Faktor ini menunjuk langsung kepada proses “magang” dari calon elit ke elit yang lain yang sedang menduduki jabatan yang diincar oleh calon elit.
- Occupational variables : Calon elit dilihat pengalaman kerjanyadalam lembaga formal yang bisa saja tidak berhubungan dengan politik, kapasitas intelektual dalam kualitas kerjanya.
- Motivations : Orang akan termotivasi untuk aktif dalam kegiatan politik karena dua hal yaitu harapan dan orientasi mereka terhadap isu-isu politik. Selection : Faktor ini menunjukkan pada mekanisme politik yaitu rekrutmen terbukan dan rekrutmen tertutup.
2.6 Fungsi Rekrutmen Politik
Rekrutmen Politik adalah suatu proses seleksi atau rekrutmen
anggota-anggota kelompok untuk mewakili kelompoknya dalam jabatan-jabatan
administratif maupun politik. Setiap sistem politik memiliki sistem atau
prosedur-prosedur rekrutmen yang berbeda. Anggota kelompok yang rekrut/diseleksi
adalah yang memiliki suatu kemampuan atau bakat yang sangat dibutuhkan untuk
suatu jabatan atau fungsi politik. Setiap partai politik memiliki pola
rekrutmen yang berbeda. Pola perekrutan anggota partai disesuaikan dengan
sistem politik yang dianutnya. Di Indonesia, perekrutan politik berlangsung
melalui pemilu setelah setiap calon peserta yang diusulkan oleh partainya
diseleksi secara ketat oleh suatu badan resmi. Seleksi ini dimulai dari seleksi
administratif, penelitian khusus (litsus) yaitu menyangkut kesetiaan pada
ideologi negara.
Czudnowski seperti yang dikutip oleh
Fadillah Putra dalam bukunya yang berjudul “Partai
Politik dan Kebijakan Publik” , mengemukakan definisi rekrutmen politik
yaitu: “The process through which
individuals or group of individuals are inducted into active political roles” “Suatu
proses yang berhubungan dengan individu-individu atau kelompok individu yang
dilantik dalam peran-peran politik aktif.”
Menurut Czudnomski dalam bukunya Fadillah Putra yang berjudul “Partai Politik dan kebijakan Publik”
mengemukakan mekanisme rekrutmen politik antara lain:
1)
Rekrutmen terbuka, di mana syarat
dan prosedur untuk menampilkan seseorang tokoh dapat diketahui secara luas.
Dalam hal ini partai politik berfungsi sebagai alat bagi elit politik yang
berkualitas untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Cara ini memberikan
kesempatan bagi rakyat untuk melihat dan menilai kemampuan elit politiknya.
Dengan demikian cara ini sangat kompetitif. Jika dihubungkan dengan paham
demokrasi, maka cara ini juga berfungsi sebagai sarana rakyat mengontrol
legitimasi politik para elit.
Adapun manfaat yang diharapkan dari rekrutmen terbuka adalah:
a)
Mekanismenya demokratis
b)
Tingkat kompetisi politiknya sangat
tinggi dan masyarakat akan mampu memilih pemimpin yang benar-benar mereka
kehendaki
c)
Tingkat akuntabilitas pemimpin
tinggi
d)
Melahirkan sejumlah pemimpin yang
demokratis dan mempunyai nilai integritas pribadi yang tinggi.
2)
Rekrutmen tertutup, berlawanan
dengan cara rekrutmen terbuka.
Dalam rekrutmen tertutup, syarat dan prosedur pencalonan tidak dapat secara
bebas diketahui umum. Partai berkedudukan sebagai promotor elit yang berasal
dari dalam tubuh partai itu sendiri. Cara ini menutup kemungkinan bagi anggota
masyarakat untuk melihat dan menilai kemampuan elit yang ditampilkan. Dengan
demikian cara ini kurang kompetitif. Hal ini menyebabkan demokrasi berfungsi
sebagai sarana elit memperbaharui legitimasinya.
Berdasarkan beberapa penjabaran
tentang mekanisme rekrutmen politik di atas, maka sistem terbuka mencerminkan
partai tersebut betul-betul demokratis dalam menentukan syarat-syarat dan
proses yang ditempuh dalam menjaring calon elit politik. Sistem yang demokratis
akan dapat mencerminkan elit politik yang demokratis pula. Sedangkan mekanisme rekrutmen
politik yang tertutup akan dapat meminimalkan kompetisi di dalam tubuh partai
politik yang bersangkutan, karena proses yang ditempuh serba tertutup. Sehingga
masyarakat kurang mengetahui latar belakang elit politik yang dicalonkan partai
tersebut.
Ada beberapa variabel penting dalam proses rekrutmen dan pengembangan
kader
1.
Kualitas Rekrutmen
Partai harus
memiliki kualifikasi standar untuk merekrut para kandidat. Biasanya, dalam era
baru demokrasi, partai merekrut para kandidat yang bersedia untuk memberikan
kompensasi politik dan keuangan untuk pencalonan dirinya. Kualifikasi standar
sebaikmya mencakup aspek-aspek, seperti integritas, dekat dengan rakyat
(societal roots), pengalaman politik, keterampilan dasar, dan sesuai dengan
platform partai.
a)
Standarisasi Rekrutmen dan Kepatuhan
Standarisasi
rekrutmen harus dilakukan secara konsisten di seluruh kantor daerah partai
politik, guna memastikan praktek rekrutmen yang umum dan para kandidat memiliki
kualifikasi yang sama diseluruh tingkatan.
b)
Desentralisasi Rekrutmen
Hampir tidak
mungkin bagi kantor pusat partai politik untuk memverifikasi seluruh proses
seleksi secara efektif, sehingga diperlukan desentralisasi dalam tingkatan
tertentu. Kantor pusat partai seharusnya berpartisipasi secara aktif dalam
menyeleksi kandidat parlemen di tingkat nasional, akan tetapi ketika menyeleksi
kandidat provinsi dan kecamatan kantor pusat partai seharusnya juga memiliki
peran utama. Dalam mengimplementasikan struktur yang terdesentralisasi, kantor
pusat partai hanya menyediakan mekanisme kontrol untuk memastikan unsur
kepatuhan sesuai dengan standarisasi yang tersedia dalam penyeleksian. Kantor
daerah partai dapat berpartisipasi dalam menyeleksi para kandidat di tingkat
administrasi yang lebih tinggi dengan memberikan masukan dan informasi tentang
kandidat. Singkatnya, terdapat tiga aspek utama dalam rekrutmen, antara lain
kualitas kualifikasi, standarisasi dan kepatuhan, dan tingkat desentralisasi.
c)
Kualitas Pengembangan Kader
Kegiatan
pengembangan kader di dalam partai politik harus berkaitan dengan kualilfikasi
nominasi. Bahan untuk pengembangan kader harus memasukkan pembangunan
integritas, mendorong dan melatih para kader guna membangun kedekatan dengan
masyarakat dan program partai politik, pelatihan keterampilan dasar di dalam
organisasi, dan promisi ideologi dan platform partai. Pengembangan kader
dilakukan guna mencapai tujuan sebagai berikut: Petama, membangun partai dengan
sumber internal untuk pemilihan para kandidat dan memastikan proses regenerasi
di dalam tubuh partai dengan memunculkan beberapa pemimpin partai masa depan.
Kegiatan pengembangan kader yang dilakukan secara regular merupakan indikator
kualitas proses di dalam partai.
d)
Standarisasi, Kepatuhan, dan
Desentralisasi Pengembangan kader
Sama halnya dengan rekrutmen, konsistensi di seluruh tingkatan yang berbeda
dalam organisasi partai memastikan kader dengan kualitas yang merata.
Partisipasi dari anggota partai di tingkatan yang berbeda dalam organisasi juga
dapat memastikan efisiensi dalam proses yang berarti kader daerah tidak harus
bergantung hanya pada kantor pusat partai.
2.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi dalam Pelaksanaan Rekrutmen Politik
Faktor pertama, ini bukan mempertanyakan atau membahas siapa yang akan
menjadi bakal calon pemimpin untuk negeri ini kedepannya melainkan lebih
menekankan terhadap persoalan disekitar politik, kekuasaan rill dan berada
disuatu historis.
Persoalan di
sekitar politik berarti setiap calon-calon pemimpin yang akan dipilih
harus mampu mengoptimalisasikan segala tenaga dan upayanya untuk menyeimbangkan
segala polemik-polemik yang sedang terjadi di negara ini untuk dipersempit
dampaknya.Sehingga iming-iming tersebut menjadi daya tarik bagi masyarakat luas
untuk memilihnya sebagai calon pemimpin kedepannya.
Kekuasaan
rill berarti seorang calon pemimpin harus memiliki teknik
yang tersimpan di dalam konsep pikiranya untuk dikembangkan ketika telah
menjadi pemimpin. Konsep tersebut berisi suatu cara bagimana mempengaruhi
masyarakat luas sehingga mampu dipercaya untuk memimpin dalam periode yang lama
dan abadi.
Unsur yang terakhir, berada dalam
suatu historis artinya setiap pemimpin otomatis menginginkan nama dan
jasa-jasanya selalu terekam dalam benak pikiran masyarakat dan setiap calon
pemimpin harus mampu merangkai konsep tersebut sebelum dirinya terpilih menjadi
pemimpin.
Rekrutmen politik memiliki suatu pola-pola dalam konsepnya. Apabila kita
mengkaji pola-pola tersebut maka kita akan mnegetahui bahwa sistem nilai,
perbedaan derajat, serta basis dan stratifikasi sosial terkandung di dalam
rekrutmen politik. Pola-pola rekrutmen politik ini secara tidak disengaja
menjadi indikator yang cukup penting untuk melihat pembangunan dan perubahan
suatu negara. Di dalam pola-pola ini memiliki keterkaitan antara rekrutmen dan
perekonomian suatu negara mampu menkaji pergeseran ekonomi masyarakat,
infrastruktur politik, serta derajat politisasi dan partisipasi masyarakat.
Artinya pemimpin-pemimpin yang baru akan membentuk kebijakan-kebijakan
terbarunya yang mengarah demi kemajuan negaranya serta faktor politik
menciptakan terjadinya iklim politik yang cukup mempengarauhi pergerakan
ekonomi suatu Negara di dalamnya.
3.
Prosedur-prosedur
yang Berlaku untuk Mendapatkan Suatu Peran Politik
a)
Pemilihan umum
Seluruh
masyarakat Indonesia setiap 5 tahun sekali melaksanakan pemilihan umum yaitu
kegiatan rakyat dalam memilih orang atau sekelompok orang untuk menjadi
pemimpin bagi rakyatnya, pemimpin Negara, atau pemimpin di dalam pemerintahan
dan merupakan mekanisme politik untuk mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan warga negara dalam proses memilih sebagian rakyatnya menjadi
pemimpin di dalam pemerintahan.
b)
Ujian
c)
Training formal
d)
Sistem giliran
4.
Jalur-jalur
Politik dalam Rekrutmen Politik
Jalur koalisi partai atau pimpinan-pimpinan partaiartinya
koalisi-koalisi partai merupakan bagian terpenting di dalam rekrutmen politik
karena sebagian besar kesepakatan dan pengangkatan politik di adopsi dari hasil
koalisi-koalisi antarpartai yang berperan dalam suatu lingkup politik.Artinya
rekrutmen politik tidak terlepas dari peranan koalisi partai.
Jalur rekrutmen berdasarkan kemampuan-kemampuan dari kelompok atau
individuartinya jalur ini menjadi kriteria dasar dalam
perekrutan seseorang karena dinilai dari berbagai segi yaitu kriteria-kritreia
tertentu, distribusi-distribusi kekuasaan, bakat-bakat yang terdapat di dalam
masyarakat, langsung tidak langsung menguntungkan partai politik.
Jalur rekrutmen berdasarkankaderisasiartinya
setiap kelompok-kelompok partai harus menyeleksi dan mempersiapkan anggota-anggotanya
yang dianggap mampu dan cakap dalam mendapatkan jabatan-jabatan politik yang
lebih tinggi jenjangya serta mampu membawa memobilisasi partai-partai
politiknya sehingga memberi pengaruh besar dikalangan masyarakat.
Jalur rekrutmen politik berdasarkan ikatan promodial. Di zaman
modern ini jalur rekrutmen promodial tidak menutup kemungkinan terjadi di dunia
politik. Fenomenal itu terjadi karena adanya hubungan kekerabatan yang dekat
antara orang perorangan yang memiliki jabatan politik sehingga ia mampu memindahtangankan
atau memberi jabatan tersebut kepada kerabat terdekatnya yang dianggap mampu
dan cakap dalam mengemban tugas kenegaraan. Fenomena ini dikenal dengan nama
“rekrutmen politik berdasarkan ikatan promodial”.
5.
Pembagian
Jabatan di dalam Politik
Jabatan politik artinya jabatan yang diperoleh
sebagai dari hasil pemilihan rakyatnya atau yang ditunjuk langsung oleh
pemerintah dan dikenal sebagai seorang “politikus”. Masa jabatanya hanya dua
kali periode.
Jabatan administratif artinya jabatan yang diperoleh
secara manual melalui tahap-tahap pendidikan dan pelamaran kerja. Jabatan ini
dianggap pasti dan mampu menjamin hidup para “administrator” karena masa
jabatanya berlangsung lama. Para administrator ini dikenal sebagai atribut
negara karena menjadi indikator pelengkap dan pendukung dalam membantu tugas
para politikus.
6.
Sistem
Perekrutan Politik Terdiri dari Beberapa Cara
a)
Seleksi pemilihan melalui ujian
b)
Latihan ( training ) Kedua hal
tersebut menjadi indikator utama didalam perekrutan politik
c)
Penyortiran atau penarikan
undian(cara tertua yang digunakan di Yunani kuno)
d)
Rotasi memiliki tujuan mencegah
terjadinya dominasi jabatan dari kelompok-kelompok yang berkuasa maka perlu
adanya pergantian secara periode dalam jabatan-jabatan politik.
2.7 Kasus Rekruitmen
Politik (Aly, Bachtiar Prof Dr,2012)
Belum pernah dalam sejarah Indonesia merdeka,
kredibilitas pemimpin dan elit bangsa terpuruk seperti sekarang. Pemimpin
puncak hingga level paling bawah mengalami krisis kepercayaan. Mereka hilang
wibawa. Legitimasinya melemah. Ucapannya sering jadi bulan-bulanan dan
olok-olok. Lebih lagi, dicap munafik tak tahu diri.
Elit bangsa digugat dan dianggap tak peka
derita rakyat. Sibuk mengurus dan memperkaya diri. Kasus-kasus yang melibatkan
segelintir anggota DPR daerah dan pusat membuat kita mengurut dada. Ulah ini
bikin berang. Lihatlah urusan rehabilitasi gedung, pengadaan peralatan kantor,
hingga toilet mewah. Biayanya mengalahkan common sense. Mereka pun saling
tuding. Tak ada yang mau tanggung jawab sampai diadukan ke KPK.
Meski masih tebang pilih soal KKN, elan
reformasi terus menerjang. Ada yang kapok dan insaf setelah masuk bui. Tapi
orang kini tak terlalu takut dipenjara. Yang ditakuti, kalau terjerat tak siap
bekal. Tanpa uang pasti susah di penjara. Kalau ada teman solider besuk, justru
jadi perkara karena harus bayar sipir.
Yang kreatif menyusun disertasi atau menulis
novel. Jeruji besi tak mereduksi impian mereka untuk berkarya. Penjara tak
boleh mengamputasi imajinasi dan mimpi insani. Inilah hakikat campus (sebutan
lain bui) bagi yang masih menyisakan sense of humor. Heinrich Boll, pemenang
nobel sastra mengingatkan, tak mudah menghapus memori kelam di hotel prodeo.
Mari kita bantu rehabilitasi dan reintegrasi mereka sebagai anak bangsa.
Setiap hari media massa kita menyajikan berita
miris seperti kekerasan, perkosaan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Ya,
rangkaian protes dan demo masyarakat di berbagai daerah telah menyulut
kerisauan. Tapi pendemo brutal yang mengganggu ketentraman umum tak boleh ditoleransi.
Aparat keamanan, bertindaklah profesional dan proporsional, tapi hindari jatuh
korban nyawa.
Jajaran pimpinan nasional hingga daerah kini
terus didemo, didamprat, dimaki. Sumpah serapah jadi lumrah. Pamor pemerintah
rontok ke titik nadir. Pemimpin dituding tidak kredibel.
Orang muda muncul ke tampuk kuasa, tapi tak
tahan godaan harta, wanita, dan mahkota. Cepat puas diri. Mereka pun korup,
narsis, dan calon menghuni penjara. Belum lagi neraka mengejarnya. Rasanya tak
ada yang dapat diandalkan.Masyarakat mulai frustasi dan masa bodoh. Yang berang
main hakim sendiri.
Celakanya, pejabat negara tak tanggap dan tak
sigap mencari solusi. Masyarakat pun menempuh jalannya sendiri, seperti hilang
pegangan dan harapan. Seharusnya pejabat legislatif, eksekutif, dan yudikatif
mempertanggungjawabkan kinerjanya. Juga memperlihatkan sikap terbuka yang
jujur, adil, dan jauh dari kemunafikan. Di sisi lain, demokratisasi telah
memberi masyarakat peran lebih aktif dalam proses pengambilan keputusan. Mereka
tak mau lagi dijadikan sekadar embel-embel. Hak masyarakat harus diberdayakan
untuk memenuhi hajat hidup di semua lini, termasuk hak politik. Saat masyarakat
terlibat dalam proses demokrasi, peran dan fungsi parpol jadi sangat relevan.
Dalam sistem yang mengedepankan demokrasi,
parpol menempati posisi strategis. Persoalannya, isi benak elit politik
kadangkala sulit dipahami. Komunikasi politik elit kita seperti tak terjangkau,
mengalami distorsi, bahkan senjang. Saat LSM menuding studi banding memboroskan
uang negara dari hasil negosiasi meminta-minta, wakil rakyat malah emosi
ketimbang mengklarifikasi. Manusia semestinya mampu mengontrol daya emosi dan
pikirnya.
Ini tak boleh dibiarkan. Kita harus bersuara.
Manfaatkan berbagai forum dengan bijak. Pejuang restorasi dan pembaharu harus
tetap kritis. Pertajam intellectual honesty dan asah kualitas empati. Situasi
makin tak tentu saat masyarakat dituding kurang paham agenda dan obsesi
penguasa. Tampaknya komunikasi politik sudah korslet, ribet, dan sulit
dimengerti.
David Easton mencatat komunikasi politik
sebagai sejumlah/seperangkat interaksi yang diabstraksi dari totalitas social
behavior, dengan caranya masingmasing mempengaruhi dan menguasai masyarakat
dengan gagasan yang dimiliki. Aktivitas ini mampu mengikat semua komponen
bangsa dengan sanksi dan kompensasi yang disepakati
Saatnya kita kontemplasi dan muhasabah
(introspeksi) soal bagaimana keluar dari kemelut dan masalah kompleks ini. Elit
politik harus mawas diri. Pengambil keputusan jangan ragu bertindak untuk
kepentingan yang lebih besar.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Trias politika adalah suatu faham kekuasaan yang digulirkan
filsuf, konsep tersebut untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke
(1632-1704) dan Montesquieu (1684-1755) yang terdiri dari 3 bagian, yaitu
legislatif, eksekutif dan yudikatif.
b) Di era modern ini, dapat terlihat
bahwa teori pemisahan kekuasaan yang diungkapkan oleh Montesquieu lah yang
diterima. Pasalnya, Montesquieu tidak menggunggulkan posisi satu lembaga.
Ketiga lembaga negara yang menjalankan fungsi yang berbeda, yakni legislatif,
eksekutif, dan yudikatif bekerja secara terpisah dan melakukan kontrol satu dan
lainnya dengan check and balance.
c) Lembaga legislatif diharapkan dapat
menghasilkan hukum dan kebijakan yang sesuai dengan rakyat. Lembaga legislatif
dengan klaim wakil rakyat akan mengkoreksi kebijakan pemerintah. Lembaga
eksekutif akan memperhatikan rakyat sepenuhnya, karena jika tidak, rakyat tidak
akan memilih mereka.lembaga yudikatif pun diharapkan mandiri dan independen
untuk mengadili pelanggaran hukum yang terjadi.
d) Tetapi dalam penerapannya di
Indonesia tidak berjalan seuai dengan yang diharapkan, karena system KKN yang
mendarah daging di Indonesia sehingga diharuskannya menambah lembaga untuk
mengontrol keadaan tersebut.
0 Response to "MAKALAH SISTEM POLITIK INDONESIA"
Posting Komentar